Senin, 23 Juli 2007

Indahnya Akhlak Nabi SAW

Oleh H. Muhammad Sholeh Qosim, MSi

اَلْحَمْدُ لِلّهِ، اَلذِي بَعَثَ رَسُـوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَتْمـِيْمِ مَكَارِمَ الْاَخْـلاَقِ، اَشْـهَدُ اَنْ لاَاِلهَ اِلاَّاللَّهُ ، وَحْدَهُ لاَشَـرِيْكَ لَهُ، وَاَشْـهَدُ
اَنَّ سَـيِّدَنَامُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُـوْلُهُ، شَـهَادَةً تُنْجِى قَائِلَهَامِنْ عَذَابِ
يَوْمِ التَّلاَقِ، اَللَّهُمَّ صَـلِّ وَسَـلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَىآلِهِ وَصَـحْبِهِ وَمَنْ آمَنَ بِهِ وَاَحَـبَّهُ وَاشْـتَاقْ.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : اَعُوْذُبِااللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ،
مَنْ يُطِيْعِ الرَّسُولََ فَقَدْ اَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ تَوَلَّىفَمَاآرْسَلْناَكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظَا. اَمَّابَعْدُ : فَيَااَيُّهَالْمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ اللَّهُ، اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَاللَّهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

Dari mimbar yang mulya ini kami berwasiat taqwa kepada jamaah jum`ah, dengan penuh kesadaran mari kita laksanakan perintah-perintah Allah, kita tinggalkan larangan-laranganNya. Dengan begitu InsyaAllah kita selamat fidunya wal akhirah amin..

Berkenaan dengan Dzikru Maulid Nabi SAW banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang menyebut keagungan beliau. Ayat yang paling sarat memuji Nabi akhir zaman Muhammad SAW adalah ayat yang berbunyi:

وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
"Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung." (QS.al-Qalam:4)

Kata khuluq yang berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya adalah kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.

Seorang sahabat pernah mengenang Nabi yang mulia SAW dengan kalimat : كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلّى اللّه عليه وسلم اَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًاوَخُلُقًا

“Bahwa Rasulullah saw adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq”. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriyah maupun batiniyahnya."

Kesempurnaan lahiryah beliau sering kita dengar dari riwayat-riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya, mendeskripsikan sifat-sifat lahiriyah Nabi SAW seperti berikut: : "Nabi Muhammad saw adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang. Postur tubuhnya tegap. Rambutnya ikal dan panjang yang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan tampak timbul di saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang di bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat. Pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya. Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit dan banyak merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam."

Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manusia yang agung seperti ini banyak kita temukan di dalam kitab-kitab Maulid yang lazim dibaca di tanah air kita, seperti Barzanji, Diba`, Simthu ad-Durar dan sebagainya. Kita dibawa hanyut oleh para perawi tentang bentuk lahiriyah Nabi SAW. Sesuatu yang meskipun indah dan sempurna, namun tidak menjadi fokus pandangan Al-Quran terhadapnya.

Lalu, apa yang menjadi fokus pandangan Al-Quran terhadap Nabi SAW?. Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaknya, seperti pada ayat di atas. Apa arti akhlak? Kata Imam Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. la bisa indah dan bisa juga buruk. Akhlak yang indah disebut اَلْخُلُقُ الْحَسَـنُ sementara akhlak buruk disebut اَلْخُلُقُ السَّـيِّئُ

Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakkan ‘Aqliyyah (Kejernihan fikir), Ghadhabiyyah (Emosi/Kemarahan), Syah-waniyyah (Keinginan-keinginan Syahwat) dan Wahmiyyah (Angan-angan) secara proporsional dalam jiwa manusia, Serta mampu meletakkan dan menggunakan secara adil dalam dirinya. Manusia yang berakhlak baik adalah orang yang tidak berlaku ifrath alias eksesif atau melampau batas dalam menggunakan empat hal di atas, dan juga tidak bersifat tafrith atau menyia-nyiakan/mengabaikannya secara total. la akan sangat adil dan proporsional di dalam menggunakan keempat anugerah Ilahi itu.

Dengan kata lain akhlak yang baik adalah suatu keseimbangan yang sangat adil yang dilakukan oleh seseorang ketika berhadapan dengan empat fakultasnya di atas. la tidak ifrath di dalam menggunakan rasionalitasnya sehingga mengabaikan wahyu, dan juga tidak tafrith sehingga menjadi bodoh. la tidak ifrath di dalam menggunakan ghadhab atau emosinya sehingga menjadi agresor, namun tidak juga tafrith sehingga menjadi pengecut. la tidak ifrath di dalam syahwatnya sehingga menghambur-hamburkan nafsunya, namun juga tidak tafrith seperti biarawan-biarawati. la mampu meletakkannya secara seimbang sehingga ia membagi secara adil mana hak dunianya dan mana hak akheratnya. Kemampuan itu disebut dengan al-Khuluqul hasan اَلْخُلُقُ الْحَسَنُ

Orang yang menyandang sifat ini, di kedalaman jiwanya sudah pasti memantulkan suatu bentuk yang sangat indah secara lahiriah di dalam segala aspek kehidupannya sehari-hari ; yang -seperti kata sebuah riwayat- dari pancaran wajahnya akan memantul sebuah energi yang akan mengingatkan orang kepada Allah SWT. Sedang untaian kata-katanya akan menimbulkan aura menambahkan ilmu. Pada setiap orang yang mendengarnya dari akhlak lahiriyahnya bisa menyadarkan orang dari kelalainnya. Akhlak seperti inilah yang diuswahkan Rasulullah SAW:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُـوْلِ اللَّهِ أسْـوَةٌ حَسَـنَةٌلِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللَّهَ
وَاليَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَاللَّهَ كَثِيْرًا. (الاحزاب : 21)

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S Al-Ahzab : 21)

Itulah misi utama beliau SAW :


اِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak”

Keluhuran akhlak Nabi SAW ini adalah cermin yang bersih dan indah yang membawa kita untuk bisa berkaca dengannya di dalam kehidupan kita sesama manusia dalam segala lapisannya. Sebab akhlak Nabi adalah cerminan Al-Qur`an yang sesungguhnya. Bahkan beliau sendiri adalah Al-Qur`an hidup yang hadir di tengah-tengah ummat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al-Qur`an. Itulah kenapa 'Aisyah sampai berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنْ
“Adalah akhlak Nabi adalah al-Quran.”

Akhlak alkarimah menjadi kunci keberhasilan beliau membangun bangsa dari kenistaan kearah keniscayaan. Beliau SAW menjanjikan bahwa akhlaq yang lurhurlah menjadi beratnya timbangan amal di akherat :
مَامِنْ شَيْئٍ فِالْمِيْزَانِ اَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya (kelak diakherat) dari pada akhlak yang mulia”
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah

Saatnya kita mengedepakan akhlaq alkarimah diatas yang lain. Mendahulukan akhlak alkarimah diatas perbedaan. Mendahulukan akhlak alkarimah diatas kepentingan, bahkan bila perlu dahulukan akhlak karimah diatas Fiqih.

Mudah-mudahan kita semua berada dalam kehidupan yang akhlaqi, selalu memperoleh pancaran nur akhlak manusia mulya Muhammad SAW .. amin.

جَـعَلَنَااللَّهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ اْلآمِنِيْنَ،وَاَدْخَلَنَاوَاِيَّاكُمْ فِي عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ، اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا، فَاَسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca Selengkapnya......

Pola Hidup Birul Walidain

Oleh: KH. A. Muchith Muzadi

Islam menempatkan bakti kepada orang tua sebagai kewajiban nomor dua, setelah Allah SWT. oleh karena kitu, sejak dini harus kita tanamkan pada diri kita.

Birrul walidain, artinya: bersikap baik terhadap dua orang tua (ayah dan ibu). Sikap yang dibuktikan dengan tingkah laku perbuatan yang baik.

Islam menempatkan birrul walidain ini sebagai kewajiban dengan urutan nomor dua sesudah beribadah kepada Allah dan sebaliknya menempatkan ‘uququl walidain sebagai larangan dengan ururtan nomor dua sesudah syirk (menyekutukan Allah). Alangkah penting dan gawatnya urusan orang tua di dalam ajaran Islam.

Allah berfirman:

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“sembahlah olehmu kalian Allah dan jangan sekutukan sesuatu apapun dengan Dia! Dan bersikap baik kamu kalian kepada dua orang tua dengan siakp baik yang sesungguhnya”(An-Nisak : 36)

Rasulullah SAW bersabda :

“Rasulullah SAW bertanya : “apakah aku (perlu) memberitahukan kalian tentang sebesar dosa besar?. Diulang tiga kali, maka bumi menjawab : “benar, ya Rasulullah!” beliau bersabda: “menyekutukan Allah (syirk), bersiakp tidak baik terhadap kedua orang tua (uququl walidain = menyakitkan hatri orang tua ). “ketika itu beliau bertongkat lalu duduk dan bersabda (lagi) : “(juga) berkata palsua dan memberikan keaksian palsu”. Beliau terus mengulang ulangnya sehingga kami berkata: “semoga beliau berhenti bersabda.” (HR Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Bakar).

Pada umumnya, birrul walidain hanya kita anggap sebagai kewajiban keagamaan ukhrawi yang akan mendapat balasan pahala besar bagi para pelakunya dan akan mendapat siksa yang pedih bagi yang bersikap sebaliknya (uququl walidain).

Pandangan yang demikian ini, sepenuhnya adalah benar. Pemeluk Islam seharusnya pertama kali menilai segala sesuatu dari sudut ukhrawinya. Melakukan shalat umpamanya, pertama kali harus kita pandang sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dengan sangsi ukhrawi, tidak harus dipertimbangkan dahulu untung rugi duniawi bagi pelakunya. Membayar zakat umpamanya, pertama kali harus kita pandang sebagai kewajiban ukhrawi sebelum kita memikirkan manfaatnya bagi kepentingan duniawi.

Namun, juga sama sekali tidak salah, kalau kita memikirkan manfaat dari segala macam kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT. bukan karena meragukanya, tetapi justru didorong oleh keyakinan bahwa segala yang diwajibkan oleh Allah SWT tentu besar manfaatnya bagi yang bersedia melakukanya. Bukan saja manfaat ukhrawi, tetapi juga manfaat duniawi, manfaat bagi kehidupan di dunia ini.

Banyak perintah di dalam Al Qur’an dan Al Hadist, supaya kita beriman, taat dan berfikir. Beriman artinya memiliki keyakinan mutlak, teguh dan benar. Taat artinya : patuh melaksanakan perintah berdasar iman. Berfikir artinya: mengembangkan pikiran supaya dapat melaksanakan kepatuhan dengan lebih mantap dan sempurna.

Pada dasarnya, setiap orang yang normal memiliki kecenderungan untuk bersikap baik terhadap orang tuanya (birrul walidain). Naluri dan akal sehat manusia selalu mengarah demeikian, sama dengan adanya kecenderungan pada setiap orang mencintai anaknya, berani bersuasah payah dan berkorban untuk kepentingan anaknya.

Dua macam kecenderuangan timbal balik ini merupakan tanda bukti kemahabijaksanaan dan kemahabesaran Allah SWT. bayangkan, seandainya tidak ada lagi manusia yang cinta anak dan tidak ada lagi anak yang bersikap baik terhadap orang tua!

Kalau dalam satu masyarakat, yang besar tidak mengasihi yang kecil dan yang kecil tidak menghormati yang besar, maka apalah jadinya! Apalagi, kalau yang besar itu orang tuanya dan yang kecil itu anaknya. Rasulullah SAW bersabda:

“tidak termasuk golonganku (yang baik), orang yang mengasihi “yang kecil” dan tidak menghormati “yang besar”.

Kasih sayang orang tua (ayah ibu) kepada anak dan sebaliknya hormat anak kepada ayah ibunya adalah dua tali bagi manusia untuk tetap pada martabat kemanusiaanya.
Kewajiban kita adalah memelihara dan mengembangkan rahmat dan karunia Allah SWT ini dengan penuh kesuguhan dan keseksamaan. Bersyukurlah kita, dengan memanfaatkan rahmat menurut ajaran Allah pemberi rahmat.

Pertumbuhan dan perkembangan bibit kecenderungan tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Adakalanya terganggu, terhambat, terhalang atau menyimpang. Gejala terganggunya birrul walidain tampak pada anak, tetapi tidak terlalu selalu penyebab utamanya terletak pada anak saja. Mungkin saja masyarakat dan lingkungan ikut menjadi penyebab anak tidak bersikap baik terhadap orang Baca Selengkapnya......

Iman kepada Para Rasul dan Kitab Suci

Bilangan para Nabi dan Rasul itu banyak, dan kita tidak mengetahui, hanya Tuhan-lah yang mengetahui bilangan pastinya, sebagaimana tertera di dalam ayat Al-Qur’an sebagai berikut :

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Kami telah mengutus beberapa utusan sebelum engkau, di antara mereka itu ada yang telah kami ceritakan kepadamu, dan ada pula yang tidak kami ceritakan kepadamu, dan ada pula yang tidak kami ceritakan kepadamu”. (Al-Mu’min: 78).

Adapun yang telah diceritakan di dalam Al-Qur’an dengan riwayatnya masing-masing berjumlah 25 orang. Itulah yang wajib kita percayai dengan pasti. Nama-Nama Para Nabi tersebut, sebagai berikut; Adam, Idris, Nuh, Hud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aid, Musa, Harun, Dzulkifli, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad.

Selanjutnya di antara 25 orang itu ada 5 orang Rasul yang mempunyai kelebihan yang istimewa. Mereka itu dinamakan Ulul-Azmi (اولوالعزم) artinya para Nabi dan Rasul yang mempunyai ketabahan luar biasa. Mereka itu adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad SAW.

Mengingat tugas para Rasul, sebagai pesuruh Allah untuk memberi petunjuk kepada segenap manusia dan untuk memperbaiki masyarakat, maka para Rasul itu harus memiliki sifat-sifat wajib sebagai berikut, juga sifat mustahulnya:

1. Benar/Jujur atau صِدْقٌ tidak mungkin Suka bohong atau كِذْبٌ
2. Dapat dipercaya atau اَمَانَةٌ tidak mungkin khianat (خِيَانَةٌ)
3. Menyampaikan perintah dan larangan atau تَبْلِغٌ tidak mungkin menyembunyikan ajaran atau كِتْمَانٌ
4. Cerdas atau فَطَانَةٌ tidak mungkin pelupa atau غَفْلَةٌ

Adapun sifat jaiz (mungkin) para rasul itu adalah sama seperti sifat manusia juga, bahkan dijadikan contoh bagi sekalian manusia, maka mereka pun mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasa, yakni al-a’radlul basyariyah (اَلأَعْرَاضُ البَشَرِيَّةُ) , seperti makan, berkeluarga, penat, mati, merasa enak dan tidak enak, sehat dan juga menderita sakit yang tidak mengurangi kedudukannya sebagai Rasul. Dan sifat as-sam’iyat (السَّمْعِيَّاتِ) yaitu hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akal semata-mata, dan hanya dapat diketahui dari keterangan yang kita terima dari sumber agama sendiri, yakni dari kitab-kitab Allah dan keterangan-keterangan para Rasul.

Di antara hal-hal yang termasuk di dalam Assamiyyat juga adalah Malaikat, Kitab-kitab Allah, Hari Kemudian, dan Hinggaan Allah (Qadla dan Qadar). Termasuk soal-soal ini juga adalah tentang Jin, Surga, Neraka, Hal ikhwal kubur, dan lain sebagainya.

Iman Kepada Kitab-Kitab Suci Allah

Allah menurunkan wahyu yang berisi petunjuk-petunjuk suci kepada para utusan-utusan-Nya. Petunjuk-petunjuk itu kemudian dihimpun-himpun menjadi kitab yang dinamakan kitab-kitab Allah. Kitab-kitab itu berisi perintah dan larangan (syari'at), janji baik dan buruk, serta nasehat dan petunjuk cara hidup dan beribadat.

Kita percaya bahwa kitab-kitab itu bukan bikinan makhluq, artinya bukan karangan Rasul, tetapi benar-benar dari Allah semata-mata. Dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai berikut :

ءَامَنَ الرَّسُوْلَ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَبِهِ وَاْلمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرَسُلِهِ

“Rasul itu telah percaya akan apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan segala orang mu’minpun percaya pula, masing-masing percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Utusan-utusan-Nya”. (Al-Baqarah; 285).

Adapun kitab-kitab Allah tersebut, yang wajib diimani ada empat: Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.

1. Kita suci Zabur; yang diturunkan kepada Nabi Dawud a.s. berisi do’a-do’a, dzikir, nasehat dan hikmah-hikmah; tidak ada di dalamnya hukum syareat, karena Nabi Dawud diperintahkan mengikuti syareat Nabi Musa a.s.
وَءَاتَيْنَا دَ اوُدَ زَبُوْرَا
“Dan kami telah memberi kitab zabur kepada Nabi Dawud”. (An-Nisa; 163).

2. Kitab suci Taurat; yang diturunkan kepada Nabi Musa.a.s. Berisi hukum-hukum syareat dan kepercayaan yang benar.

نَزَّلَ عَلَيْكَ اْلكِتبَ بِاْ لحَقِ مُصَدِقًالِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَةَ وَاْلاِءنْجِيْلَ
“(Tuhan Allah) telah menurunkan kitab kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang terdahulu dari padanya, lagi menurunkan Taurat dan Injil”. (Ali Imran: 3).

3. Kitab suci Injil; diturunkan kepada Nabi Isa a.s. Kitab itu berisi seruan kepada manusia agar bertauhid kepada Allah, menghapuskan sebagian dari hukum-hukum yang terdapat dalam kitab Taurat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya.

4. Kitab suci Al-Qur’an; diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW berisi syareat yang menghapuskan sebagian isi kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil, yang sudah tidak sesuai dengan zamannya.
شَهْرُرَمَضَانَ الَّذِى أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ

“Pada bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia”. (Al-Baqarah: 185).

Selain dari kitab-kitab yang empat itu, masih ada lagi shahifah (صحيفة) atau lembaran-lembaran oleh Allah telah diturunkan kepada Nabi Adam a.s., Nabi Syits a.s., Nabi Idris a.s., Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Musa a.s.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Baca Selengkapnya......

Senin, 09 Juli 2007

Iman Kepada Allah dan Malaikat

Sifat Allah itu terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang wajib bagi Allah, mustahil bagi Allah, dan jaiz bagi Allah. Secara singkat sebagai berikut:

Sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah masing-masing 20 yang saling berlawanan:

1. Ada (wujud) lawnnya tidak ada (’adam)
2. Dahulu (qidam) lawannya baru (huduts)
3. Kekal (baqa’) lawannya berubah-ubah (fana’)
4. Tidak menyerupai sesuatu (mukhalafatu lil hawaditsi) lawannya menyerupai sesuatu (almumatsalatu lil hawaditsi)
5. Berdiri sendiri (qiyamuhu binafsihi) lawannya berhajat kepada yang lain (al-ihtiyaju lighairihi)
6. Esa (wahdaniyat) lawannya berbilang (wujudusy syarik)
7. Kuasa (qudrat) lawannya tdak kuasa (’ajz)
8. Berkehendak (iradah) lawannya terpaksa (karahah)
9. Mengetahui (’ilm) lawannya bodoh (jahl)
10. Hidup (hayat) lawannya mati (maut)
11. Mendengar (sama’) lawannya tuli (shamam)
12. Melihat (bashar) lawannya buta (’umyu)
13. Berbicara (kalam) lawannya bisu (bukm)
14. Yang Berkuasa (qadiran) lawnanya Yang tidak berkuasa (’ajizan)
15. Yang Berkemauan (muridan) lawannya Yang Terpaksa (mukrahan)
16. Yang berpengatahuan (’aliman) lawannya Yang Bodoh (jahilan)
17. Yang Hidup (hayyan) lawannya Yang Mati (mayyitan)
18. Yang Mendengar (sami’an) lawannya. Yang Tuli (ashamm)
19. Yang Melihat (basyiran) lawannya Yang Buta (a’ma)
20. Yang Berbicara (mutakalliman) lawannya Yang Bisu (abkam)

Adapun Sifat Jaiz Bagi Allah SWT adalah bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki, seperti dalam Al-Qur’an disebutkan :

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Tuhanmu menjadikan dan memilih barang siapa apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 68)

Allah menjadikan alam ini bukanlah suatu keharusan. Apabila menjadi suatu keharusan, berarti semuanya hawadits, itu tidak mungkin terjadi namanya. Apabila Allah menghendaki, maka terjadilah barang itu berwujud, dan apabila Allah tidak menghendaki, maka tidak pula terwujud.

Dari keterangan itu semuanya, ternyata Allah membuat atau tidak membuat segala sesuatu yang mungkin ini, hanyalah kemungkinan belaka. Sifat membuat alam ini atau tidak membuatnya adalah sifat jaiz bagi Allah. Artinya hal itu bias saja boleh terjadi atau tidak terjadi. Apabila dikehendaki, maka hal itu diadakanlah dan terjadi, dan apabila tidak dikehendaki, tidak diadakan dan tidak terjadi.

Iman kepada Malaikat Allah

Malaikat itu tidak sama dengan manusia di dalam sifat-sifat dan pekerjaannya: bukan laki-laki dan bukan perempuan; tidak makan dan tidak pula minum; dan dalam keadaan biasa tidak dapat dilihat dengan mata kepala, malaikat-malaikat itu sebangsa Ruh saja. Kita tidak diwajibkan mengetahui hakekat dzat malaikat itu. Cukuplah kita mempercayai saja akan keberadaannya, dengan sifat-sifat yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Para Nabi dan Rasul, dapat mencapai malaikat pembawa wahyu yang terkadang menjelma sebagai manusia dengan kehendak Allah, dan terkadang pun tidak bertubuh seperti manusia. Keterangan-keterangan tentang Malaikat dan sifat-sifatnya itu di dalam Al-Qur’an banyak sekali. Di antaranya ialah :

نَزَلَ بِهِ الُّروْحُ اْلأَمِيْنُ عَلىَ قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ اْلمُنْذَرِيْنَ

“Turunlah Ar-Ruhul Amin (Jibril) dengan membawa Al-Wur’an di hatimu, supaya engkau menjadi salah seorang dari pada orang-orang yang memberikan peringatan”. (asy-Syu’ara’: 193-194)

مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

”Tidak sesuatu perkataan yang dikatakan; melainkan mesti ada malaikat yang mengawasi dan meneliti”. (Qaaf : 18)

قُلْ يَتَوَفَّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِى وُكِلَ بِكُمْ ثُمَّ اِلَى رَبِكُمْ تُرْجَعُوْنَ

“Katakanlah kamu akan dinantikan oleh malaikat maut yang diwajibkan (mencabut) segala nyawa kamu; kemudian kepada Tuhanmu ingatlah kamu dikembalikan”. (As-Sajadah: 11)


Bilangan Malaikat itu banyak sekali, dan hanya diketahui oleh Allah sendiri. Masing-masing nama dan pekerjaan sendiri-sendiri. Dan nama-nama itulah yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Pekerjaannya yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dalam keterangan para Rasul ada banyak sekali di antaranya sebagai berikut :

1. Membawa wahyu dari hadirat Ilahi, kepada para Nabi dan Rasul. Dinamakan Ar-Ruhul-Amin atau Jibril atau Ar-Ruhul-Qudus.
2. Membawa rezeki kepada semua makhluq dinamakan Mikail.
3. Meniup sangkakala (trompet) di hari kemudian, dinamakan Israfil.
5. Mencabut nyawa dari tubuh makhluq dinamakan Izrail.
5 & 6. Mengawasi dan meneliti pekerjaan manusia, dinamakan Rakib dan Atid.
7 & 8. Menanyai tiap-tiap orang dalam kubur dinamakan Mungkar dan Nakir.
9. Menjaga neraka dinamakan Malik atau Zabaniyah
10. Menjaga surga dinamakan Ridwan Baca Selengkapnya......

Rabu, 04 Juli 2007

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Ilmu Tauhid

Di dalam mempelajari Ilmu Tauhid atau aqidah, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menggunakan dalil nadli dan aqli. Dalil naqli ialah dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW dan dalil Aqli ialah dalil yang berdasarkan akan pikiran yang sehat.

Sebagaimana dikemukakan bahwa madzhab Mu’tazilah mengutamakan dalil akal dari pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal mereka, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an disesuaikan dengan akal mereka. Apabila ada hadits yang bertentangan dengan akal, mereka ditinggalkan itu dan mereka berpegang kepada akal pikirannya. Ini merupakan suatu these (aksi) yang akhirnya menimbulkan antithesa (reaksi) yang disebut golongan Ahlul Atsar(أهل الأثار)

Cara berpikir Ahlul Atsar adalah kebalikan cara berpikir golongan Mu’tazilah. Ahlul Atsar hanya berpegangan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka tidak berani menafsirkan Al-Qur’an menurut akal, karena khawatir takut keliru, khususnya dalam ayat-ayat Al-Mutasyabihaat mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT.

Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Fath [48] ayat 10:

َيدُاللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan mereka”.

Ahlul Atsar tidak mau menafsirkan apa yang dimaksud dengan tangan pada ayat tersebut, mereka menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Fatwa mereka hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata. Apabila mereka tidak menjumpai dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka tidak berani untuk berfatwa. Dari golongan ini lahirlah seorang Imam yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau dilahirkan di Nejed tahun1703 M.

Dengan demikian, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh Al-Imam Abdul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi mengembalikan ajaran Islam kepada Sunnah Rasulullah SAW dan para shahabatnya dengan berpegangan kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tidak meninggalkan dalil-dalil akal. Artinya memegang kepada dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Cara Mempergunakan Dalil dalam Ilmu Tauhid

Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah mendahulukan atau mengutamakan dalil naqli dari pada dalil aqli. Jika akal manusia diibaratkan mata, maka dalil naqli diibaratkan pelita. Agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata mengikuti pelita. Akal manusia mengikuti dalil Qur’an dan Hadits bukan Qur’an dan hadits yang disesuaikan dengan akan manusia.

Rasulullah SAW bersabda: (لاَدِيْنَ ِلمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ) tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Maksudnya, orang yang berakal menerima agama. Akal menerima agama, bukan agama menerima akal, karena akal manusia bermacam-macam. Agama ialah syariat yang diletakkan oleh Allah SWT bersumberkan kepada wahyu dan sunnah Rasulullah SAW bukan bersumberkan kepada akal. Agama bukan akal manusia dan akal manusia bukan agama.

Fatwa agama yang datang dari mana pun saja kalau tidak berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas wajib kita tolak. Maka di dalam ilmu Tauhid kita berpegangan kepada Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat tahun 324 H. Beliau belajar kepada ulama’ Mu’tazilah, di antaranya Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabal. Karena pada masa itu Mu’tazilah merupakan madzhab pemerintah pada zaman khalifah Abbasiyah; khalifah Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, dan beliau termasuk pengikut setia madzhab mu’tazilah.

Setelah beliau banyak melihat kekeliruan faham Mu’tazilah maka beliau menyatakan keluar dari Mu’tazilah di depan khalayak ramai dengan tegas, bahkan akhirnya beliau menolak pendapat-pendapat Mu’tazilah dengan dalil-dalil yang tegas.

Dalam ilmu Tauhid, rukun iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah ada 6 (enam): Iman kepada Allah, kepada para Nabi/Rasul Allah, Kitab Suci Allah, Malaikat Allah, Hari Akhir, dan Qadla/Qadar Allah, yang insya Allah akan diuraikan pada kesempata berikutnya. Baca Selengkapnya......